Jumat, 14 Maret 2025

Eleftheria

Eleftheria

Kebebasan bagi apapun bukan berarti benar-benar bebas, bahkan untuk sebesar negara pun masih tidak benar-benar bebas, masih ada Kapitalisme, Perang saudara, bahkan Kelicikan dan Kemunafikan. Tulisan kali ini tidak bersifat objektif dengan data-data para Cendekiawan. Untuk seorang manusia, Kebebasan pun masih bisa dibelenggu oleh hal-hal berat duniawi (plural).

 Kalau kalian sering dengar, semakin buruk pikiran seseorang harus dituangkan kedalam tulisan, betul, hal tersebut saya validasikan oleh diri saya sendiri dan mencari faktanya. Ada satu kalimat yang muncul dikepala saya tapi, ini tidak sepenuhnya benar; Bahwa 
Setiap racun punya penawarnya, tapi tidak semua penyakit punya obatnya.

12 Tahun saya menyimpan penyakit ini, Minggu lalu batin saya didiagnosa oleh ahlinya itupun saya paksakan karena saya berpikir masih mampu, saya bahkan memberikan cerita yang jujur tanpa ada kebohongan sedikitpun, ternyata masalah saya sudah masuk ke jenjang masalah yang serius. Ini merupakan pertama kalinya selama mulut dan otak saya sering berdebat untuk bilang “Jangan” dan “Kesana”. Setiap kejadian mempunyai Triggernya termasuk saya. Justifikasi manusia dengan berkata orang pergi ke Ahlinya disebut orang lemah membuat saya bertahan selama 12 Tahun, dan saya terpaksa menjalani terapi karena saya tidak mau hidup dengan mengorbankan genetik saya untuk masa depan saya, bukan waktu yang sebentar memang untuk menjalani jangka panjang ini.

Terasa bosan? Sudah dibilang ini bukan tulisan berdata, saya hanya ingin menuangkan racun, bahkan saya terlihat jijik sebenarnya untuk menulis seperti ini, sayangnya, setiap manusia sering menjadikan permasalahan sebagai sebuah perlombaan, seakan mereka seperti mempunyai mandat dari atasannya untuk terus bekerja sampai tali finish. Percayalah saya ketika di tes gambar saja, gambar saya sudah abstrak. Demi saya dan masa depan saya semua saya lakukan, karena anak kita tidak pernah meminta untuk dilahirkan. 

Semakin dewasa ternyata seorang manusia makin tertempa dirinya. Dulu saya pikir cita-cita saya adalah seorang Dokter, Pemain bola, dan Akademisi apapun itulah, ternyata realistisnya adalah saya hanya ingin menjadi orang yang memiliki Stabilitas Finansial dan Kejiwaan. 12 Tahun saya hanya menanam cerita yang suatu saat akan menjadi Bom untuk diri saya, tenang! walau saya hampir puluhan kali melakukan percobaan, saya punya alasan tersendiri untuk tetap melakukan tebar benih untuk orang disekitar dan siapapun itu. Setelah ini komentar seseorang dalam hatinya akan seperti ini “Sok iya, ga liat kah lu juga nyakitin seseorang dan berlagak paling tertimpa, ngaca!” Tertebak sudah pendapat orang-orang. Sembuh saja cukup untuk menjadi pedoman saya dan doa saya. 

Rabu, 29 Januari 2025

Charmolipi

 Charmolipi



Charmolipi merupakan arti dari Bahasa Yunani yang saya temukan di internet yang memiliki arti Suka duka, walau sebenarnya kata majemuk ini sulit dijelaskan secara harfiah namun menggambarkan tentang kesenangan dan kesedihan yang terkesan seperti perasaan yang campur aduk dan sulit dijelaskan. Karena jujur saat mengetik ini saya sedang mengalami hal tersebut, walau seperti yang saya katakan di blog sebelumnya bahwa saya harus selalu mengingat kata-kata beliau tersebut. Kata Charmolipi ini dapat ditemukan di link ini untuk mengetahuinya lebih lanjut.

Tujuan hidup saya mulai tak jelas arahnya karena memiliki banyak trauma yang hanya orang terdekat saya yang mengetahui hal tersebut, tidak orang tua saya dan tidak juga sahabat-sahabat saya. tapi fokus saya bukan di hal tersebut. Kuliah saya sudah berjalan selama 1 Semester dan sekarang libur Semester Ganjil (1 Bulan). Saya ingat banyak perkataan dari Media Sosial yang berkata untuk selalu mencari teman dikuliah dan menyebarkan akar hingga menjalar seperti Tumbuhan Bugenvil, namun saya yang selalu bersenandika dengan mempertanyakan "Apa ini perlu?" sedangkan saya yang cenderung sangat tidak progresif ini harus siap dengan apa yang memang sudah seharusnya, tetapi kontradiktifnya adalah bahwa kenyataannya dan banyak juga orang mengalaminya, Lingkaran pertemanan semakin menyusut layaknya plastik yang terkena air panas. 

Saya di perkuliahan juga pada akhirnya bertemu dengan teman-teman yang akhirnya menjadi teman-teman dekat yang ternyata dari berbagai banyak perbedaan, ada yang pemikirannya selalu berbeda dengan saya, ada yang cukup agamais, ada yang menjadi penasihat dan mendengar ocehan setengah sadar saya, ada yang lebih peduli terhadap saya, ada juga yang rajin berolahraga. Terlepas dari itu beberapa dari mereka mengajarkan saya layaknya seorang Ayah yang tidak banyak saya dapatkan dari Ayah saya sendiri, dan mereka ternyata juga jauh lebih peduli dari teman-teman yang saya pernah temui selama hampir 19 Tahun mendayung. Entah yang masih saya pikirkan adalah Siapa, Kapan, Bagaimana, dan Kenapa orang tersebut menusuk saya.

  Saat mengetik ini saya sedang beristirahat dalam posting apapun di Media Sosial entah sampai kapan dan rencananya juga ingin mengurangi bermain Handphone ini, karena Trigger. Bahkan ada Jurnalnya sendiri yang mengatakan bahwa Media Sosial sangat berpengaruh terhadap Kesehatan Mental dan batin kita, salah satunya dari Journal of Social and Clinical Psychology, 2020 (kalian bisa mencarinya di Google Scholar ataupun situs lainnya yang menyediakan Jurnal-jurnal) yang mengatakan bahwa : 
"Excessive smartphone usage has been correlated with increased feelings of loneliness and decreased quality of sleep. This has a direct impact on the mental health of young adults, leading to higher levels of anxiety and stress."

Sebenarnya hal tersebut memang secara tidak sadar atau secara eksplisit memengaruhi Kesehatan Mental kita terutama seperti yang dikatakan tentang anxiety dan stress yang sebenarnya menurut saya sendiri tidak masuk akal, kecuali memang jika Media Sosial menurut saya sendiri berpengaruh karena 

  1. Jika kalian mengunggah sesuatu di berbagai platform lalu tiba-tiba ada berbagai banyak ejekan atau lelucon yang dilontarkan yang melihat unggahan kalian dengan komentar yang kadang terkesan ambigu, terutama untuk Gen-Z seperti kita yang apa-apa selalu dipikirkan entah itu komentar buruk atau komentar pujian. Cyberbullying yang masih marak di dunia ini.
  2. Jika Berita/Informasi yang kita terima terutama berita buruk seperti Kebijakan, Kebodohan Public Figure, Krisis Global, ataupun melihat orang lain bercengkrama dengan wisata/tempat-tempat yang ingin kalian kunjungi, semuanya ini terlihat seperti seseorang yang iri, tapi jika memang kalian tipe orang yang apatis mungkin tidak berpengaruh, tapi bagi sebagian orang hal ini cukup sensitif terhadap orang tersebut. dan informasi di Media Sosial juga sering menjadi sebuah Perbandingan Sosial juga.
  3. Jika Kecanduan Media Sosial seperti yang saya tahu bahwa semakin kita adiksi terhadap sesuatu kita akan menguras energi kita untuk hal tersebut, terutama jika kasus ini yakni Kesehatan tidur yang sangat memengaruhi kualitas tidur kita yang kemudian dari cahaya telepon seluler menghambat produksi hormon melatonin kita yang sejujurnya penting sekali, saya tidak mau terlalu biologis dan seperti cendekiawan, cari saja diinternet. Oh, dan yang terpenting karena kecanduan juga membuat kita terlihat seperti orang FOMO (Fear Of Missing Out) kalau kata anak zaman sekarang yang sampai sekarang masih sering salah memaknakan kalimat tersebut 😜, karena kita yang sering takut sekali ketinggalan tren atau berita penting seakan itu jadi kebutuhan primer kita.
"The overuse of social media has been linked to increased levels of anxiety, depression, and stress. Social media platforms serve as a means of social comparison, leading to feelings of inadequacy, poor body image, and reduced self-esteem among users."  
Kuss, D. J., & Griffiths, M. D. (2017). Social networking sites and addiction: Ten lessons learned. International Journal of Environmental Research and Public Health, 14(3), 311.

Dan ya seperti yang saya bilang dari awal ini merupakan charmolipi yang menurut saya, saya bangga dan senang bertemu dengan orang-orang di perkuliahan saya meskipun saya tidak bisa sangat menikmatinya terutama dalam hal adaptif karena gangguan diri saya sendiri. Saya setelah mengetik ini dengan panjang lebar saya ingin mengatakan semakin saya terjerumus oleh sesuatu, semakin saya cemas berpikir untuk keluar dari ranah saya tersebut, yang seharusnya saya lebih baik mengolah hal tersebut bukan malah membakar diri.

 

Eleftheria

Eleftheria Kebebasan bagi apapun bukan berarti benar-benar bebas, bahkan untuk sebesar negara pun masih tidak benar-benar bebas, masih ada K...